! Head Line ! Hikmah ! Median ! Kabudayan ! Talang 17-an ! Kolom Cak Nun ! Forum ! Lain-Lain ! Beranda !
__________________________________________________________________________________________________________________

Edisi 8

MENELAN SAMPAH
Oleh: Moeshacs

Apa yang akan Anda lakukan atau, paling tidak, apa yang Anda rasakan ketika mendengarkan khotbah dari seorang yang Anda ketahui segala keburukan dan kebobrokan moralnya? Apakah dengan senang hati masih mau duduk dan mendengarkan semua petuah-petuah mulianya, atau Anda akan segera merasa muak dan menilai kata-kata hikmahnya itu tidak lebih dari sampah yang berserakan, kemudian segera beranjak meninggalkannya?

Bagaimana mungkin seorang berbicara layaknya moralis, namun di belakangnya justru gemar bertindak amoral. Bagaimana Anda bisa terima, jika ada orang yang menjunjung tinggi kehormatan, ternyata dibaliknya ia juga memperdagangkannya. Di sinilah ada etika berbicara. Permasalahannya bukan hanya tentang apa yang dibicarakan, bukan hanya ukuran kebenaran dan kesalahan, tetapi juga tentang siapa yang mengatakan. Dalam wilayah etika, hal ini penting karena pada dasarnya saat seorang mucikari bicara moralitas, atau koruptor tentang kejujuran, diktator tentang kepemimpinan, atau apapun pada sebaliknya, maka yang akan kita tangkap hanyalah kebohongan, dusta, dan kemunafikan saja.

Jika tidak demikian, mengapa Tuhan mesti “repot-repot” mengutus Rasul-Nya yang mulia untuk menyampaikan firman-Nya “lima taquuluuna maa laa taf’aluun” (mengapa kalian berkata apa yang tidak kau perbuat?). Mengapa tidak dipisahkan saja; yang bertugas bicara tak perlu berbuat nyata dan yang cukup berbuat tak perlu bicara. Kalimat Tuhan ini bukan berarti menafikan adagium terkenal “undur ma qol wala tandur man qol” (lihatlah pada apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan).

Inilah dialektika. Kalimat “lima taquuluuna maa la taf’aluun” disampaikan kepada fa’il (pelaku) yang bicara. Ia ditujukan secara personal pada masing-masing orang atas dirinya sendiri ketika hendak bicara. Demikian juga kalimat, “undur maa qol walaa tandur man qol” itu juga disampaikan kepada tiap diri pendengar, secara personal pada dirinya masing-masing untuk berpersepsi. Jadi, sama sekali tidak ada pertentangan antara keduanya.

Dari sini dapat kita ambil tiga kesimpulan sekaligus. Pertama, ini merupakan peringatan keras kepada tiap diri kita untuk benar-benar mengenal diri masing-masing. Dengan demikian, kita bisa mengukur kepantasan diri untuk melakukan dan mengatakan sesuatu. Kedua, masing-masing kita mungkin lebih mengenal diri kita dibanding orang lain. Begitu pun sebaliknya, pengetahuan kita atas diri orang lain mungkin memiliki presentase yang lebih kecil dibanding dengan pengetahuan mereka atas. Dengan pemahaman ini, kita perlu mawas diri untuk selalu menghormati dan berbaik sangka, dengan sepenuh hati menerima kondisi dan kehadiran orang lain. Kita bisa dengan ikhlas menjadi pendengar yang baik, membuka tutup, dan mengosongkan cawan keilmuan kita, memenuhinya dengan kebaikan, dari mana-pun ia bersumber. Ketiga, agama dan moralitas, selalu mengajarkan nilai hidup yang tertinggi. Dalam kasus ini, dialektika antara penyampai dan penerima pesan, masing-masing diberikan satu nilai keutamaan untuk berlapang dada, dan mawas diri, tahu pasti kapan atau kepada siapa ia bicara atau mendengar. Jikapun terpaksa mendengar atau bicara, mesti dilakukan dengan kehati-hatian dan keluasan jiwa. Tiap kata dan kalimat akan menjadi sampah bagi para manusia yang hidup dalam ke-seolah-an, bukan berpijak pada kejujuran diri.

Menjelang PEMILU yang semakin dekat saja, mari kita mempersiapkan diri untuk terpaksa mendengar banyak orang yang bicara tentang banyak hal sampai berbusa-busa. Mestinya, jika masing-masing kita mawas diri dan jujur, kita tidak perlu repot-repot “menelan sampah” terlalu banyak.

Semarang, 22 Januari 2009