! Head Line ! Hikmah ! Median ! Kabudayan ! Talang 17-an ! Kolom Cak Nun ! Forum ! Lain-Lain ! Beranda !
__________________________________________________________________________________________________________________

Edisi 4

Susu =Tuba

(by: Moshacs)

Aku pernah mendengar cerita dari sahabatku. Pada suatu malam sekitar pukul satu dini hari, dia dan kawan-kawannya berenam tengah kelaparan dan berniat makan di warung gudeg Jalan Solo. Waktu itu agak gerimis dan suasana dingin sekali, tetapi mereka nekad dan sampailah di jalan Solo. Ada beberapa warung gudeg di sepanjang jalan itu. Merekapun akhirnya memilih warung gudeg langganan kawanku.

Warung itu berada di bawah teras sebuah toko yang telah tutup, sehingga bisa dikatakan sebagai warung permanen. Warung itu ditunggui oleh tiga orang perempuan. Satu, seorang ibu-ibu bernama bu Asih dan yang dua masih muda, Susi dan Wulan. Setelah kawan saya memesan enam porsi gudeg lauk ayam dan teh panas, mereka duduk di atas tikar di sebelah penjual.

Tidak lama, enam porsi disajikan dan kemudian menyusul teh panas yang dibawa oleh Susi. Kawanku tampaknya sudah akrab dengan mereka para penjual di warung itu.

“Dingin ya mbak”, kawanku menyapa Susi yang membawakan teh panas untuk mereka.

“Iya mas, sudah dari sore gerimis tidak reda-reda…”, dengan sedikit menggigil perempuan itu menjawab dan tiba-tiba dia malah bersin. “hatchuih! Maaf mas, silahkan dinikmati.”

“Lho kamu dingin-dingin kayak gini gak pakai jaket?”

“Anu mas tadi lupa bawa.” Entah kemasukan setan mana, atau saking baiknya, kawanku ini melepaskan jaket nya. Dia memang mengenakan dua baju dibaliknya.

“Ini dipakai saja, daripada nanti njenengan malah sakit.”

“Akh, tak usah mas, biar saja, sudah biasa.”

“Sudahlah pakai saja, saya pakai baju rangkap kok.” Akhirnya perempuan itu menerima jaket kawanku itu. Sesudah makan dengan lahap dan mereka pun pulang.

Setelah sekitar lima bulan kawanku itu pulang ke kampung halaman. Sekembalinya ke Jogja, seperti biasa, dia mampir makan di warung gudeg langganannya.

“Lho, Susi tidak ikut jualan Bu?” kawanku menyapa sopan.

“Wah mas, sejak sampean tidak kesini, anak itu sakit-sakitan, sekarang digantikan kakaknya, itu.” Sambil menunjuk seorang laki-laki yang kemudian berdiri mendekat.

“Jadi ini yang namanya Gugun?! Yang bikin adikku sakit?!” tanpa menunggu jawaban kawanku itu, dia langsung memukuli kawanku habis-habisan. Melihat ada yang dipukuli orang-orang di sekitar mendekat dan tanpa menanyakan persoalan, mereka ikut rame-rame memukuli kawanku. Setelah mereka puas, kawanku sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Tanpa memperdulikan gudeg bungkus yang dipesannya, kawanku pergi dan tak pernah kembali ke warung gudeg itu lagi.

Saat ia bercerita kepadaku, kawanku yang lain menyela, “Mangkane Dul, gawe apik iku yo kudu ndelok-ndelok.” semua orang yang ada waktu itu tertawa, tidak terkecuali aku. Kemudian aku berfikir, apa betul berbuat baiknya yang keliru, jangan-jangan karena manusia sekarang ini sudah sangat pragmatis, sehingga semua tindakan selalu dianggap ada motif dibaliknya…”